Senin, 07 Desember 2015

My Alien Boyfriend (Part 1)

“Kemarin gue abis jalan-jalan bareng Davin. Seru abis! Gue ditraktir makan di Solaria, terus kami nonton di bioskop, abis itu jalan-jalan ke mal, Davin beliin baju ama sepatu baru buat gue. Terus kami ke Elos. Aduh…. Seneeeeng banget deh,” Karla bercerita panjang-lebar. Shintia menatap Karla dengan terkagum. “Wah, loe hebat banget ya La, bisa dapet cowok yang tajir kayak Davin,” ujarnya kagum. “Haha… biasa aja kali,” Karla mengibaskan rambutnya. “Gue iri ama loe, La. Kalo cowok gue.. hahh.. gak bisa diandelin. Tiap hari kagak punya duit. Bete gue,” celetuk Renti sambil menatap cermin yang dipegangnya. “Emangnya cowok loe siapa, Ren?” tanya Nina tiba-tiba. Kami serentak menatapnya dengan tatapan sadis. Nih anak lemotnya memang luar biasa. “Itu, si Dany. Bete gue. Kalo makan di pasar mulu. Malu gue diliatin temen-temen,” Renti menjawab ketus sambil tetap menatap cermin. “Kalo cowok loe gimana, Nin?” tanyaku. Dengan mata berbinar-binar Nina menjawab, “Cowok gue makin romantis aja. Tau gak sih? Gue diajakin jalan-jalan ke taman bunga, terus kita lari-larian ngelilingin tuh taman. Abis itu makan nasi bungkus yang dimasakin ama dia di bawah pohon rindang.” “So sweet...” ujarku kagum. “Masih zaman pacaran kayak gitu?” Renti menyeletuk. “Kayak di film India, hahahaha,” tawa Karla membahana. Kami semua ikut tertawa. Nina memonyongkan bibirnya. Tawa kami makin membahana. Karla, Shintia, Nina, dan Renti adalah sahabat-sahabat terbaikku. Kemana-kemana kami berlima selalu bersama. Kebetulan kami sekelas sejak kelas X hingga saat ini. Kami selalu berbagi cerita dan tidak ada satupun yang tidak kami ceritakan. Mereka selalu ada disampingku setiap saat. Kecuali satu hari, yaitu hari Sabtu. Yup, hari Sabtu adalah mimpi buruk bagiku. Karla dengan Davin-nya, Renti dengan Dany-nya, Nina dengan Refa-nya (si romantis), dan Shintia dengan Bima-nya. Dan aku? Sendirian. Seumur hidup aku belum pernah merasakan yang namanya pacaran. Bila sahabat-sahabatku mulai bercerita tentang pacar-pacar mereka, aku lah yang paling diam. Aku bukan cewek yang cantik. Tidak ada satu sisipun dalam diriku yang menarik. Setiap kali ada cowok yang berdiri di sampingku, tubuhku langsung bereaksi aneh. Sekujur tubuhku akan penuh dengan keringat dingin, dan kalau tangan dan kakiku diperas pasti bisa ditampung paling sedikit segayung air. Hah… aku mendesah. Kalau begini terus sampai matipun aku gak bakal punya cowok. “Icha, bangun! Sudah jam 7! Mau berangkat sekolah ngga?!” Aku menggeliat malas. Mataku rasanya sulit sekali untuk dibuka. “Ayo cepat bangun! Katanya hari ini ada upacara?” Mama melanjutkan celotehannya. Aku berjalan terhuyung ke kamar mandi. Setengah jam kemudian aku turun dan duduk di meja makan. Tercium aroma wangi masakan Mama. Mataku langsung melek. “Mama masak apa?” tanyaku penuh rasa ingin tahu. “Nasgor,” jawab Mama singkat, “Sudah, makan dulu sana. Ntar telat.” “Loh? Jimmy mana?” tanya Papa dari balik koran. “Dia kan libur, Pa. Anak SD mana ada upacara,” sahutku. “Ooo..” Papa mengedikkan bahu dan melanjutkan kegiatannya membaca Koran. “Ma, Pa, aku berangkat dulu,” teriakku dan berlari menuju halte bus. Di kelas belum ada siapa-siapa. Sial, aku kecepetan, rutukku dalam hati. Aku melangkah malas menuju kursiku dan melamun. “Hei, ini bener kelas XII IPA 8 kan?” Seseorang melambaikan tangannya di depan wajahku. “Eh, i…iya..” aku tersadar dari lamunanku. Cowok itu tersenyum. “Di sebelahmu ada orang gak?” tanyanya lembut. “Ng… ngga..” aku menggeleng cepat. Ia memutari meja dan duduk di sampingku. Tubuhku langsung bereaksi. Gawat. Cowok itu mengulurkan tangannya, “Kenan,” katanya sambil tersenyum. Uwwwaaa…. Senyumnya manis banget. Aku mengulurkan tanganku ragu-ragu. “Monica, tapi biasa dipanggil Icha.” Cowok itu mengernyitkan dahinya. “Tanganmu dingin. Kamu sakit?” tanyanya khawatir. “Ng.. ngga kok. Mungkin karena kedinginan di bus tadi,” dalihku, “Ng.. aku mau ke toilet dulu bentar.” Kebiasaanku bila berhadapan dengan cowok, kabur. “Limit x menuju nol dari fungsi ini merupakan turunan dari fungsi tersebut. Kemudian bila diselesaikan..” Gawat! Bu Nancy udah masuk. Aku mengetuk pintu ragu-ragu. Bu Nancy menoleh. “Monica, kamu darimana?” “Saya dari toilet, Bu. Maaf,” jawabku sambil menunduk. “Ya sudah. Masuk sana. Nah.. selain dengan rumus tersebut, turunan fungsi ini juga bisa diperoleh dengan cara yang lain…” Wah.. tumben banget. Biasanya kalau ada yang masuk kelas setelah Bu Nancy di dalam kelas, pasti menghadiahkan dua soal di papan tulis. Hari ini benar-benar hari keberuntunganku. “Loe darimana?” Shintia langsung menanyaiku begitu aku duduk. Renti dan Karla menatapku curiga. “Kan dah gue bilang, dari toilet,” jawabku sambil mengeluarkan binder. “Seriusan?” tanyanya lagi penuh selidik. Aku menatapnya kejam. Shintia kembali menatap papan tulis. Aku mengaduk-aduk tasku. Aduh, kotak pensilku kemana ya? Sial pasti dipinjem sama Jimmy. “Mau pakai?” Kenan menyodorkan sebatang pensil. “Oh ya. Terima kasih,” aku menerima pensil itu dengan gugup. Pensil yang lucu. Warnanya merah dengan motif hati. Aku melirik Kenan dengan curiga. Jangan-jangan nih cowok… Aku langsung menepis pikiran itu dan menyalin segumpalan cacing-cacing integral yang menghiasi papan tulis. “Eee, Cha. Cowok di samping loe namanya siapa?” tanya Karla. “Ih… ganteng banget,” sambung Renti. “Heh! Kalian udah punya pacar,” Shintia mengingatkan. “Loe juga,” timpal Nina. “Namanya Kenan,” jawabku sambil tersenyum sendiri. Kantin benar-benar ramai. Seperti biasa kami berlima duduk di pojok kantin dengan view yang bagus, lapangan basket dan anak-anak basket yang wow banget. “Nyesel ih gak bisa duduk barengan dia. Nin, loe pindah gih,” canda Shintia. “Iya, Ren. Loe pindah juga gih,” sambung Karla. Nina memandang sedih. “Loe gak mau duduk bareng gue lagi?” “Yaelah, Nin. Canda doang itu mah,” sahutku sambil menyeruput teh botol. Nina mendesah lega. Kami semua tertawa. “Cha, aku boleh gabung?” Kenan tiba-tiba sudah berdiri di sampingku sambil membawa baki berisi semangkok bakso dan segelas jus alpukat. “Ng.. boleh,” jawabku gugup. Tubuhku bereaksi lagi. Sial. Delapan mata menatapku khawatir. Mereka sudah tahu penyakitku. “Ya ampun Kenan. Gak perlu repot-repot sampai ngebawain bakso ama jus segala,” Renti mencoba menetralisir suasana. Semuanya tertawa kecuali aku. “Ng.. aku ke toilet dulu ya,” aku buru-buru bangkit dan berjalan cepat keluar kantin. Setelah berjalan agak jauh aku berhenti dan menghembuskan nafas lega. Aku berhasil kabur. “Cha, kamu gak apa-apa?” Aku tersentak. Ternyata Kenan mengikutiku. Mampus gue, rutukku. Aku membalikkan badan. “Gak apa-apa kok.” ~Eolmana eolmana deo neoreul ~ Sepertinya nada dering HP ku. “Halo?” “Cha, loe gak apa-apa kan?” terdengar suara cemas Shintia dari seberang sana. Aku berjalan agak menjauh dari Kenan. “Gue gak apa-apa. Kenapa si Kenan gak loe tahan?” tanyaku kesal. “Yeee… mana gua tahu kalo dia mau ngejar loe,” terdengar suara Karla. “Udah loe pura-pura sakit aja. Biar dia gak curiga ama reaksi berlebihannya badan loe.” Ide aneh bin lebay gini pasti punya Nina. Tapi kalo dipikir-pikir ada benernya juga sih. “Sip deh. Doain gue yak!” ujarku akhirnya. “Pasti!” seru mereka kompak. Aku menutup telepon dan beralih ke Kenan dengan muka lemas dibuat-buat. “Tadi barusan dokter aku, Ken. Dia nyuruh gue ke Rumah Sakit, tapi aku mau pulang ke rumah aja,” suaraku kedengaran lemas. Wah, gak nyangka aku jago akting juga. Wajah Kenan berubah cemas. “Mau dianterin? Aku bawa mobil,” tawarnya. “Kagak usah. Gue bisa naik taksi,” tolakku. Kenan menarik tanganku dan membawaku menuju parkiran sekolah. “Masuk,” perintahnya sambil membukakan pintu mobil. Aku menurut. Gak bakal bisa kabur lagi nih. Kenan memasangkan sabuk pengaman di pinggangku dan bisa dibayangkan reaksi tubuhku seperti apa. Kenan menatapku khawatir dan menyentuh dahiku. “Kamu dingin banget,” katanya sambil meraih jaket di jok belakang dan menyerahkannya padaku. “Aku gak apa-apa.” “Ssshh… Pake aja jaket itu,” perintahnya lagi. Aku gak bisa berbuat apa-apa. Aku bersandar pasrah sambil mendekap jaket yang terasa sangat hangat di kulitku. Aku tersentak. Rasanya badanku pegel-pegel semua. Aku melihat keluar jendela mobil. Sudah gelap. Aku menoleh dan melihat Kenan tertidur dengan nyenyak di sampingku. Wajahnya terlihat sangat damai. Dan tampan, tentu saja. Aku mulai merasa nyaman berada di sampingnya. Badanku sudah tidak bereaksi berlebihan lagi. Hanya tinggal telapak tangan dan kakiku saja yang masih berair. Kenan menggeliat gelisah. Aku buru-buru menutup mataku. Pura-pura tidur. Aku merasakan sepertinya ada yang menyibak rambutku. Aku tetap berpura-pura tidur. Aku merasakan belaian lembut tangannya di pipiku, lalu di dahiku, seperti sedang mengecek suhu tubuhku. Lalu ia menyentuh tanganku dan agak tersentak saat menyentuh tanganku yang luar biasa basah. aku mendengar bunyi tisu ditarik dari kotaknya dan terasa olehku tangan Kenan yang mengelap tanganku. Aku merasa sangat damai. Seperti inikah rasanya diperhatikan oleh cowok? “Icha, kok tumben bangunnya pagi banget?” tanya Mama heran saat melihatku sudah duduk di meja makan dengan seragam yang rapi. “Ih.. Mama gimana sih? Aku bangun lama salah, cepet juga salah,” dengusku, “Sarapan mana Ma? Lapar nih.” “Dasar gendut,” ledek Jimmy. “Heh! Kayak loe kagak gendut aja,” balasku sambil menjulurkan lidah. Sebenernya adikku itu jauh lebih gendut dari aku, dia aja yang gak nyadar-nyadar juga. Mama melangkah cepat-cepat dari dapur sambil membawa baki berisi roti goreng dan susu sapi. Aku buru-buru menyelesaikan sarapanku dan cepat-cepat berangkat ke sekolah. Rasanya gak sabar pengen ketemu Kenan. Seperti yang sudah kuduga, keempat sahabatku itu langsung memberondongku dengan sejuta pertanyaan mengenai kejadian kemarin. Aku menjawab sekenanya sambil terus melirik ke arah bangku Kenan. Lima menit sebelum bel berbunyi Kenan datang. Seperti biasa ia menyapaku dengan senyumnya yang manis. “Bagaimana kabarmu? Sudah sehat?” tanyanya ramah. “Berkat kamu,” jawabku dengan hati berbunga-bunga, “Terima kasih ya.” “Bukan apa-apa,” ia tersenyum lebar. Sepanjang kelas berlangsung, tidak ada yang terlintas di pikiranku selain kejadian semalam. “Loe masih waras, Cha?” Karla menatapku aneh. “Emangnya gue kenapa?” tanyaku balik. “Loe senyum-senyum sendiri gak jelas,” sahut Shintia. Aku tersenyum makin lebar. Renti melirik sedetik dan kembali fokus ke cerminnya. “Loe sakit?” tanya Nina sambil mengunyah batagornya. Aku menggeleng dan memalingkan wajahku ke lapangan basket. Astaga. Terlihat Kenan sedang bermain basket dengan lincah. Baju basketnya yang berwarna hijau benar-benar membuatnya terlihat semakin mempesona. Penyakit gugupku kumat. Apalagi ketika kulihat sepertinya dia berjalan ke arah kami. Aku pura-pura mengajak Nina ngobrol dan selang beberapa menit aku melihat Kenan memutar arah dan kembali berjalan menuju lapangan basket. Aku lega. Aku cepat-cepat menghabiskan sotoku dan buru-buru mengalihkan perhatian ke sahabat-sahabatku yang sedang asik membicarakan pacar terbaru Karla. “Cha, loe bisa ngga nganterin map ini ke ruang musik? Gue mau buru-buru balik nih soalnya nyokap gue bisa ngamuk-ngamuk kalo gue pulang telat lagi,” Karla menyerahkan sebuah map cokelat ketika aku sedang membereskan tasku dan ia buru-buru pergi. “Eh, La. Jangan ngacir dulu!” teriakku. Tapi Karla sudah menghilang dari pandangan. Aku mendesah. Padahal perutku sudah benar-benar keroncongan dan aku sudah tidak kuat lagi berjalan. Cepat-cepat aku memasukkan buku-bukuku dan bergegas melangkah menuju ruang musik. Beberapa langkah sebelum sampai di ruang musik, aku mendengar dentingan piano yang sangat indah. Perlahan aku berjalan sampai tidak menimbulkan bunyi sedikitpun. Aku tidak ingin mengusik keindahan musik yang mengalun itu. Pintu berderit pelan ketika kubuka dan aku mengintip melihat siapa penyebab musik yang indah itu, dan aku benar-benar terkejut begitu mengetahuinya. Kenan! Kenan tampaknya menyadari kehadiranku. Ia tampak sedikit terkejut tapi kemudian senyum yang lebar mengembang dari bibirnya. “Udah berapa lama kamu berdiri disitu?” tanyanya sambil menaikkan alisnya. Aku tergugup. “Ng.. ngga kok. Aku cuman mau naroh ini kok,” kataku sambil meletakkan map cokelat Karla di meja yang berada tak jauh dariku. Ketika aku berbalik hendak pergi, Kenan menahanku. “Buru-buru amat. Mau dengerin lagu ini ngga?” tawarnya. Wah.. tentu saja aku tidak bisa menolak tawaran emas ini. Walau tubuhku kembali bereaksi hebat. Kenan menyilahkanku duduk di sebelahnya lalu mulai memainkan nada-nada yang luar biasa indah. Jari-jarinya terlihat sangat lincah berloncatan dan menari-nari diatas tuts-tuts piano itu. Aku terkagum-kagum. Tiba-tiba Kenan tertawa. Aku mengernyitkan dahi. “Apa yang lucu?” tanyaku heran. “Wajahmu lucu banget. Kayak anak kecil yang liat pesawat-pesawatan terbang.” Tawanya semakin membahana. Aku mendengus kesal. Setelah puas mendengarkan permainan piano Kenan, kami pulang berbarengan dan ternyata Kenan cukup humoris juga. Kami tertawa-tawa sepanjang jalan dan sepertinya jalan dari sekolah ke halte bus terasa sangat dekat. Pagi itu Kenan sampai terlebih dahulu di kelas. Wajahnya terlihat sangat serius. “Pagi,” sapaku. Aku berusaha menyembunyikan rasa heranku. Kenan tidak menjawab. Ia terlihat melamun. Aku mengayun-ayunkan tanganku di depan wajahnya. Ia tersentak. “Oh.. hai Cha,” ujarnya dengan mimik terkejut. Aku tersenyum. “Hai juga. Kamu kenapa? Kok kelihatannya melamun gitu?” tanyaku penasaran. “Ah.. tidak. Aku gak apa-apa,” ia mengelak. “Hmmm…” aku pura-pura tidak peduli. Aku meletakkan tasku dan melangkah keluar kelas menuju kantin. Belum sampai di kantin, sekilas aku melihat Kenan berjalan menuju belakang sekolah. Mengingat tingkah anehnya tadi pagi, pelan-pelan aku membuntutinya dari belakang dan sepertinya ia tidak menyadari tindakanku ini. Tapi ketika aku sampai di belakang sekolah, aku tidak melihatnya lagi. Kenan menghilang. Misterius sekali. Esoknya, Kenan kembali menunjukkan ekspresi wajah yang aneh. Aku semakin khawatir. Aku menunggu barangkali ia akan berjalan ke belakang sekolah lagi, tapi ia tidak melakukannya. Sikap Kenan semakin hari semakin aneh. Pikirannya tidak pernah fokus. Bila aku mengajaknya bicara, ia hanya mengangguk atau bergumam. Lama-kelamaan aku mulai malas mengajaknya bicara. Ia terlihat semakin larut dalam pikirannya. Berminggu-minggu berlalu, Kenan seringkali tidak masuk sekolah. Sudah tiga hari berturut-turut Kenan tidak masuk. Aku semakin cemas. Aku tidak tahu rumahnya. Aku tidak tahu harus mencarinya dimana. Pagi itu aku berangkat sekolah dengan malas. Aku belum mengerjakan PR dari Bu Nancy. Tapi kalau aku tidak berangkat sekolah aku mau menjawab apa waktu ujian nanti? Saat berjalan menuju kelas sepintas aku melihat Kenan berjalan dengan sayu. Aku mengikutinya. Kenan berjalan menuju belakang sekolah. Perlahan aku mengikutinya agar tidak menimbulkan suara sedikitpun. Begitu sampai di belakang sekolah, Kenan menghilang lagi. Benar-benar mencurigakan. Esoknya Kenan tidak masuk sekolah lagi sampai berbulan-bulan. Tiap hari aku selalu memandang ke kursi di sebelahku, berharap Kenan akan muncul tiba-tiba dan membayangkannya tersenyum padaku. Mama dan Papa seringkali bertanya kalau-kalau aku mengeluh sakit. Aku heran, memangnya aku kenapa? Aku merasa biasa-biasa saja. Mama selalu mengingatkanku untuk membawa minyak angin setiap kali aku akan berangkat ke sekolah. Aku merasa diperlakukan seperti anak kecil. Jimmy mulai jarang membuli lagi. Kalau secara tak sengaja aku berpapasan dengannya, ia langsung menghindar dengan pura-pura kebelet. Aku jarang bermain dengan teman-temanku lagi. Pembicaraan mereka sering tidak nyambung denganku. Mereka berempat tertawa trerbahak-bahak tetapi aku tidak tahu apa yang mereka tertawakan. Lama-kelamaan aku menjauh dari mereka. Aku menjauh dari semua orang. Aku hanya ingin sendirian saja. Aku sering berjalan tak tentu arah, aku sering bermimpi buruk, aku sering melamun sendiri, dan aku lebih suka duduk menghadap jendela berjam-jam ketimbang berjalan-jalan ke luar rumah. Aku bisa melihat kekhawatiran di wajah semua orang yang dekat denganku. Aku berusaha bersikap senormal mungkin tetapi hal itu malah semakin membuat mereka khawatir. Siang itu, saat jam istirahat, aku berjalan sendiri menuju tempat sepi di belakang sekolah. Setiap jam istirahat aku selalu duduk disitu menunggu Kenan muncul, walau hati kecilku mengatakan aku tak akan bertemu dengannya lagi. Tapi siang itu berbeda. Kenan muncul! Aku berusaha untuk tidak menimbulkan suara sedikitpun, agar Kenan tidak menyadari kehadiranku. Kenan berhenti di depan sebuah tembok. Apa yang dilakukannya? pikirku. Kenan mendorong sebuah bata di tembok tersebut dan tiba-tiba tembok itu terbelah. Nyaris aku menjerit saking terkejutnya. Kenan masuk ke dalam tembok itu dan tembok itu menutup kembali. Selang beberapa detik kemudian aku mendekati tembok itu dan mendorong bata yang didorong oleh Kenan tadi, dan tembok itu terbelah lagi. Ragu-ragu aku masuk dan begitu aku berada di dalamnya, aku mendengar bunyi tembok itu menutup lagi. Ruangan di dalam tembok itu agak gelap dan lembap. Semakin dalam aku memasukinya, aku merasakan udara yang semakin dingin. Aku menggosok-gosokkan kedua tanganku dan aku tidak merasakan manfaat apa-apa. Aku mengaduk-aduk tasku. Sial, aku lupa membawa minyak angin. Aku mengutuki penyakit lupaku yang sudah mencapai stadium akhir ini. Setelah berjalan cukup lama, aku mendengar suara beberapa orang sedang berbincang-bincang. Perlahan aku mendekati sumber suara itu. “Michael, kamu tidak bisa terus-menerus berada di sekolahan itu dan mengulur-ulur waktu, kamu harus segera menjalankan misimu, apalagi kudengar kamu sudah tidak lagi sering berada di sekolah itu,” terdengar suara seorang lelaki tua berbicara. “Tapi ayah, aku belum menemukan gadis yang tepat seperti yang ayah katakan itu,” terdengar suara Kenan, pelan. “Siapa bilang belum. Aku kira Monica itu cocok,” suara lelaki tua itu terdengar lagi. Aku tersentak mendengar namaku disebut-sebut. “Tapi ayah, aku tidak bisa menjadikan Monica sebagai ‘itu’. Entah mengapa aku merasa dia terlalu baik padaku,” terdengar Kenan membela diri. Aku benar-benar bisa mendengar tanda kutip dalam kata-katanya. “Michael, kita dikirim kesini bukan untuk menyayangi mereka. Kita harus menjalankan misi kita. Mengerti?” suara lelaki tua itu meninggi. Tidak terdengar suara Kenan. Entah mengapa aku merasa cemas. Keringat mengucur di sekujur tubuhku. Terdengar langkah kaki seseorang. Aku bingung hendak lari kemana. Aku lupa jalan yang kutempuh tadi. Dengan pasrah aku jongkok di lantai tempat aneh itu dan berharap sebuah keajaiban akan datang. Wajah Kenan terlihat kusut. Sekarang aku bingung harus merasa lega atau malah ketakutan. Kenan terkejut melihatku. Cepat-cepat ia menarik tanganku dan membawaku keluar dari tempat aneh itu. “Apa yang kau lakukan disini?” suara Kenan terdengar emosi. “Ma..af…” suaraku terdengar bergetar. Kenan menarik nafas. “Apa saja yang sudah kau dengar?” Aku merasakan ada kekuatan baru dalam diriku ketika aku teringat mereka menyebut-nyebut namaku. “Semuanya,” kataku mantap. Kenan mendesah. Ia menundukkan kepala dan sepertinya tidak berani menatap wajahku. “Ada apa SEBENARNYA?” gantian sekarang aku yang emosi, sekaligus penasaran. Kenan tidak menjawab. Ia hanya mengambil sebuah benda menyerupai HP Android dan menekan-nekan tombol-tombol yang aneh. “Apa itu?” tanyaku. Sepertinya aku belum pernah melihat benda seperti itu. “Aku harus menyelamatkanmu sekarang juga,” jawabannya membuat dahiku berkerut. Sedetik kemudian kami sudah berada di sebuah tempat yang benar-benar asing dan belum pernah aku lihat dimanapun. Aku takjub. Teori atom mekanika kuantum ternyata benar-benar nyata. Seorang wanita yang sudah berumur menghampiri kami. “Michael, lama sekali kamu baru pulang,” sambutnya hangat. “Ibu, aku baru pergi beberapa bulan yang lalu,” tegur Kenan. “Tidak, kamu sudah pergi bertahun-tahun,” elak wanita itu. Wanita itu menoleh kearahku. Aku menunduk. “Ini siapa?” tanyanya. “Oh, ini Monica, Ibu. Ceritanya panjang,” jawab Kenan. “Ya sudah. Ayo masuk dulu. Monica, kamu mandi dan makan dulu ya. Setelah itu bersama-sama kita dengarkan cerita dari Michael,” ajak wanita itu. Aku mengangguk setuju. Aku benar-benar penasaran dengan apa yang sesungguhnya terjadi disini. Ibu Kenan sangat baik. Ia memberikanku banyak sekali pakaian-pakaian tenunannya yang luar biasa indah. Ia juga menyuguhiku dengan masakannya yang luar biasa enak. Tiba-tiba aku merasa bahwa aku benar-benar merindukan rumahku. “Baiklah, Michael. Ibu rasa kini saatnya kamu menceritakan semuanya. Monica kelihatannya sangat bingung,” kata Ibu Kenan sambil melirikku. “Begini, Ibu,” Kenan memulai ceritanya. Aku merasakan jantungku berdebar cepat. Kenan bercerita panjang-lebar. Ternyata Kenan dan keluarganya adalah penghuni planet Geoffrey yang jaraknya sekian ratus juta tahun cahaya dari bumi. Planet mereka dikutuk oleh seorang penenung karena penenung itu dianggap orang gila oleh seluruh penghuni planet. Penenung itu selalu menubuatkan bahwa akan terjadi kiamat di planet mereka, yang akan disebabkan oleh semakin dekatnya Black Hole ke planet mereka. Ayah Kenan yang adalah seorang pemimpin di planet itu, sudah memohon kepada penenung itu untuk mencabut kutukannya, karena kutukan itu menyebabkan tanah di planet mereka tidak dapat menghasilkan makanan pokok mereka yaitu SR-52. Semakin dekat Black Hole itu maka tanah di planet mereka akan semakin rusak. Akibatnya terjadi bencana kelaparan dimana-mana. Yang tertinggal hanyalah SR-51 dan SR-50. Bisa dimakan tapi tidak mencukupi karena masa panennya lebih lama ketimbang SR-52. Yang mengejutkan adalah jawaban dari si penenung itu. Penenung itu menginginkan korban seorang gadis muda yang bukan merupakan penghuni planet mereka. Itu sebabnya bertahun-tahun ayah Kenan mengembangkan teknologi mereka untuk mencapai satu-satunya planet selain planet mereka yang berpenghuni, yakni bumi. Benda sejenis HP Android tadi adalah salah satunya. “Jadi sekarang ayahmu menginginkan gadis ini?” tanya Ibu Kenan terkejut. Kenan mengangguk, lalu menatapku tak berkedip. “Mengapa harus dia?” tanya Ibu Kenan lagi sambil menatapku prihatin. “Karena Icha lahir ketika rasi bintang menunjuk ke arah dan sejajar dengan Black Hole yang disebut-sebut penenung sialan itu. Dia percaya kalau Icha dikorbankan maka kiamat itu akan hilang,” jawab Kenan sambil mendengus kesal. Aku tidak mengerti. Apa hubungannya sagitarius dengan Black Hole? “Kenan, kenapa ayahmu menyuruhmu yang mencari permintaan penenung itu?” tanyaku masih tak habis pikir. Ibu Kenan terlihat menahan tawa saat mendengar nama Kenan. “Ayahku ingin aku menyukseskan misi ini dan beliau ingin aku pulang sebagai pahlawan di planet ini. Ia tidak ingin kepemimpinannya jatuh ke tangan orang lain selain aku.” Aku mengangguk-angguk. Alasan yang klasik sekali menurutku. “Sekarang apa yang akan kamu lakukan?” tanya Ibu Kenan. “Aku juga tidak tahu Ibu. Yang penting sekarang kita harus menyembunyikan Icha.” Aku tidak menyangka. Sekarang nyawaku ada di ujung tanduk. Cahaya mentari menusuk menembus kelopak mataku. Walau mentari disini ukurannya jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan mentari di bumi, tetapi sinarnya cukup menyengat dan memaksaku untuk bangun. Aku menggeliat perlahan, lalu melangkah menuju kamar mandi. “Pagi, Monica. Di bawah sudah ada sarapan,” kata Ibu Kenan ketika aku keluar dari kamar mandi. “Iya, tante. Terima kasih.” Ibu Kenan tampak bingung mendengar panggilan itu. Aku melangkah ke ruang makan sambil bersiul riang. “Pagi,” sapaku pada Kenan yang sedang menyeruput minuman berwarna hijau toska. Kenan menurunkan gelasnya. “Pagi juga. Maaf ya sarapan kita hanya minuman ini. Makanan sudah tidak ada lagi.” “Tidak apa-apa. Aku juga harus mulai diet,” kataku sambil tertawa. Tapi memang benar juga sih. Mengingat beratku yang sudah 67 kg dengan tinggi 157 cm. Hari-hariku sangat menyenangkan. Kenan mengajakku menjelajahi planet mereka yang hanya seukuran sebuah kota. Kami berlarian di sawah SR-51, melihat anak-anak memainkan peralatan yang menyerupai HP Android lagi yang ternyata adalah sejenis permainan kartu digital, membantu Ibu Kenan menenun gaun-gaun yang indah, membuat minuman berwarna hijau toska dan meminumnya di teras rumah Kenan sambil melihat matahari planet mereka terbenam. Matahari terlihat sangat kecil, hanya berukuran sebuah bintang di malam hari, tapi cukup untuk menerangi planet sekecil kota ini. Malamnya, ketika sedang asyik melihat-lihat album-album kenangan keluarga Kenan, Kenan mengajakku ke halaman rumah. “Kenapa, Kenan? Eh, maksudku, Michael?” tanyaku. “Kenan saja,” katanya sambil berbaring di atas rumput dan menengadah menatap langit. Rumput ini sebenarnya bukan rumput sungguhan. Ini adalah SR-26 yang bukan untuk dimakan. Hanya seperti tanaman yang senantiasa tumbuh di atas tanah yang warnanya agak kemerahan dan pendek-pendek menyerupai rumput. Aku ikut berbaring disamping Kenan. Bintang-bintang terlihat sangat indah. Jumlahnya luar biasa banyak dan ukurannya sangat beragam. Tidak seperti di bumi yang umumnya kecil-kecil. Aku merasa Kenan sepertinya sedang memperhatikanku. Aku menoleh ke arahnya dan kulihat Kenan memajukan wajahnya dan mengecup bibirku lembut. Aku merasa tak jauh dari kami sepasang mata sedang menatap kami sambil tersenyum. Pagi itu aku memulai kegiatanku seperti biasa. Sarapan teh hijau toska dan mendengar cerita-cerita lucu dari Ibu Kenan mengenai masa kecil Kenan. Sudah berminggu-minggu aku bersembunyi di rumah ini. Semuanya berjalan biasa saja. Namun ada yang berbeda dengan siang ini. Kenan dan ibunya terlihat panik. Ternyata di benda menyerupai HP Android itu Kenan dan ibunya membaca pesan dari ayah Kenan bahwa ia akan pulang. “Michael, bagaimana dengan Monica? Kita harus menyembunyikannya dimana?” suara Ibu Kenan terdengar frustasi. Kenan berjalan mondar-mandir seperti setrikaan. Dua jam kemudian baru Kenan berhenti. “Ha! Aku dapat ide,” teriaknya senang. “Apa?” tanyaku penasaran bercampur gembira. “Ibu, kami akan kabur untuk sementara. Tolong Ibu kabari kami kalau ayah sudah pergi lagi dari rumah ke bumi ya Bu.” Ibu Kenan mengangguk. Ia membekali kami dengan sekotak besar bubuk teh hijau toska, gaun-gaun hasil tenunan kami berminggu-minggu, dan peralatan-peralatan aneh yang semakin tidak mirip HP Android. Kami berangkat dari rumah Kenan tanpa kutahu tujuan yang akan kutuju. Kenan menekan tombol-tombol di benda asing itu dan tiba-tiba kami sudah berada di sisi lain dari planet Geoffrey. Kenan bercerita bahwa tempat ini jarang didatangi orang karena tidak bisa ditanami apapun selain SR-26. Kenan langsung menyiapkan tenda dan aku menyeduh teh. Tiga hari setelah hari itu, aku mulai merasa sedih. Aku benar-benar merindukan Mama, Papa, Jimmy, Karla, Shintia, Nina, dan Renti. Dan entah mengapa tiba-tiba aku merindukan ocehan panjang Bu Nancy tentang limit-limit dan cacing integral yang hingga detik ini belum dapat kupahami. Kenan sepertinya mampu melihat kesedihan di mataku. Ia memelukku dan mengecup puncak kepalaku. “Tenang ya. Aku percaya ini semua pasti bakal berakhir dengan baik,” bisiknya lembut di telingaku. Aku menangis terisak di dadanya, lama. Sebuah pesan masuk ke benda asing Kenan: Michael, ayahmu sudah kembali ke bumi. Ibu bilang kamu belum pulang dan Ibu tidak pernah melihat gadis yang dicari-cari oleh ayahmu itu. Ayahmu hanya marah-marah dan memutuskan untuk mencari kalian berdua di bumi. Aku dan Kenan mendesah lega. Cepat-cepat kami membereskan tenda dan panci-panci tempat menyeduh teh dan kembali ke rumah Kenan. Berbulan-bulan pun berlalu dengan cepat. Aku mulai menikmati kehidupanku disini. Kenan mengajari berbagai macam hal, termasuk kebiasaan dan adat-istiadat mereka. Aku sudah mulai melupakan bumi. Di bumi, tidak pernah ada seorang lelaki pun yang mau mendekatiku. Tapi disini, Kenan benar-benar mengajariku apa itu cinta. Ia membuatku merasakan indahnya cinta untuk yang pertama kalinya. Kenan sangat peduli padaku, terutama ketika aku merasa sesak nafas karena atmosfer di planet ini sangat jauh berbeda dengan di bumi. Kenan merawatku ketika aku jatuh sakit karena air di planet ini terlalu keras untuk tubuhku. Bahkan terkadang Kenan bolak-balik ke bumi hanya untuk membawakanku oksigen dan air bumi. Hari itu, aku bangun dengan penuh semangat seperti biasanya. Tiba-tiba aku merasa dadaku sesak dan semuanya terlihat gelap. “Icha… Cha… bangun,” sayup-sayup aku mendengar seseorang membangunkanku. Aku membuka kelopak mata dengan berat. Aku melihat tatapan cemas Kenan dan ibunya. “Michael, ini tidak bisa dibiarkan lagi. Kamu harus membawa Icha pulang,” terdengar suara Ibu Kenan. “Tapi bagaimana dengan ayah, Bu?” sekarang terdengar suara Kenan. “Tenang saja. Semalam Ibu sudah menghubungi ayahmu dan sepertinya Ibu berhasil membujuknya untuk menunda misi ini dulu dan mencari jalan keluar yang lain.” “Apakah ayah sudah putus asa?” Suara Kenan terdengar penuh harap. “Sepertinya begitu. Ayahmu tidak berhasil menemukanmu dan Icha, sementara makanan disini semakin lama semakin menipis, dan itu mematahkan optimismenya.” Aku merasa lega. Ini saatnya untuk pulang. “Kenan, ini biji apa?” tanyaku saat melihat sebuah karung berisi benih yang sudah hampir membusuk. Kenan yang sedang menyusun barang-barang bawaan melongok dan menjawab, “Oh.. itu benih SR-52. Tidak bisa ditanam, makanya jadi busuk begitu.” “Oooh..” Aku mengambil beberapa untuk oleh-oleh ke bumi. Perjalanan terasa cukup jauh karena Kenan mengambil jalan memutar yang lebih jauh. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi agar kami tidak berpapasan dengan ayah Kenan yang sedang dalam perjalanan kembali dari bumi. Begitu menginjak tanah, yang kulakukan pertama kali adalah menghirup udara sebebas-bebasnya dan melompat-lompat kegirangan. Kenan tertawa. “Oh ya Kenan. Kenapa bahasaku sama dengan bahasa di planetmu?” Pertanyaan yang sejak dulu ingin kuajukan. “Oh. Sebenarnya kami berbicara dalam bahasa kami, tetapi sebelumnya kami sudah menelan pil yang menyebabkan orang-orang yang mendengar kami berbicara akan mendengar kata-kata dalam bahasa mereka,” jelasnya panjang-lebar. Aku terkagum. Luar biasa sekali teknologi mereka ini. Kalau seandainya di bumi ada yang seperti itu pasti menara Babel tidak akan runtuh. Dan yang paling bagus adalah tidak akan ada mata pelajaran Bahasa Inggris. “Oke Icha. Jaga dirimu baik-baik ya.” “Akankah kita bertemu lagi?” Berat rasanya kalau harus meninggalkan Kenan. Wajah Kenan berubah sedih, tapi kemudian ia tersenyum dibuat-buat. “Pasti dong Icha sayang.” Aku sama sekali tidak percaya melihat ekspresinya. Kenan mendekatkan wajahnya. “Aku pasti akan merindukanmu,” bisiknya, lalu mengecup bibirku. Tapi ciumannya kali ini terasa menyakitkan, entah mengapa. Kenan menjauhkan wajahnya. “Dah… Aku pergi. Semoga harimu menyenangkan.” Aku tak mampu mengatakan apa-apa. Aku hanya bisa memandangi pesawat Kenan naik ke udara dan menghilang. Aku jatuh tersungkur. Badanku terasa sangat lemas. Aku menangis sekeras-kerasnya. “Icha, kamu darimana saja?” Mama langsung memberondongku begitu aku sampai di rumah. “Maaf, Ma. Aku bisa jelaskan.” Aku takut Mama bakal marah besar karena aku menghilang berbulan-bulan. “Kata teman-temanmu kamu tidak ke sekolah kemarin. Padahal dari rumah bilangnya berangkat ke sekolah, kamu nyangkut dimana?” Mama marah-marah. “Kemarin?” tanyaku heran. “Iya lah. Terus tadi malam nginepnya dimana? Kok gak bilang-bilang kalo mau nginep? Papa tanyain ke temen-temenmu kata mereka kamu gak nginep di rumah mereka,” Papa ikut-ikutan marah. “Iya. Kakak sendiri yang bilang gak boleh bolos, buktinya kemarin kakak sendiri malah bolos,” Jimmy ikut-ikutan nimbrung. Akhirnya ia kembali ke sifatnya semula, pembuli. Kemarin? Aku tidak habis pikir. Selama itu aku berada di rumah Kenan dan itu hanya sehari? “Gini Ma, Pa, kemarin aku pas di halte aku ketemu temen SD aku yang sekarang sekolah di Australia. Terus dia ngajakin jalan-jalan. Jarang-jarang kan dia datang ke Indonesia. Ya udah sekalian aku juga nginep di tempat dia.” Aku terpaksa berbohong. Kalau kuceritakan yang sebenarnya pasti aku dianggap sudah gila karena integral. “Memangnya kakak punya temen selain yang empat orang itu?” tanya Jimmy meledek. Sialan. “Ya sudah kalau gitu. Lain kali bilang, biar kami gak cemas. Temen-temenmu juga nyariin kamu kesini kemarin.” Aku menggangguk, lalu melangkah menuju kamar. Masih dengan pikiran yang tak karuan. Mungkinkah aku bermimpi? Aku merogoh tasku dan menemukan benih SR-52 di dalamnya. Tidak, aku tidak bermimpi. Lalu apa? Aku memutuskan untuk tidak memikirkan hal itu saat ini. Iseng-iseng benih SR-52 kutanam di dalam pot kecil dan kuletakkan di dalam kamarku. “Cha!!!! LOE KEMANA KEMARIN?” Shintia berteriak histeris begitu aku masuk ke dalam kelas. “Berisik! Gue ada urusan kemarin,” jawabku sekenanya. “Tapi loe gak ada waktu kami cari ke rumah,” Nina juga gak kalah histerisnya. “Apalagi si Kenan sempat datang juga kemarin tapi menghilang lagi,” kata Renti sambil menyapukan spons bedak ke wajahnya. “Jangan-jangan loe jalan sama dia?” Giliran Karla yang bertanya penuh selidik. Aku mendesah. Wajah Kenan terbayang lagi. Mereka masih terus-terusan bertanya sampai akhirnya Bu Nancy menyelamatkanku dan membungkam mulut mereka. Seharian itu Kenan tidak masuk lagi. Anak-anak sekelas kami ribut membicarakan kebiasaan bolosnya itu dan sesekali melirikku. Aku sama sekali tidak mengerti arti lirikan mereka itu. Hari-hari terus berlalu. Kenan tidak pernah kembali ke sekolah. Aku selalu menatap pot kecil itu untuk mengenang Kenan. SR-52 tidak pernah tumbuh. Aku sudah menduganya. Mana mungkin bisa tumbuh di bumi. Tak terasa Ujian Nasional pun tiba. Aku begitu sibuk menyiapkan diriku sebaik-baiknya agar aku bisa lulus dengan nilai terbaik dan masuk ke perguruan tinggi negeri. Aku yakin dengan menyibukkan diri aku pasti bisa melupakan Kenan. Aku kembali dekat dengan teman-temanku lagi. Mama dan Papa sudah tidak pernah khawatir berlebihan lagi terhadapku. Semua berjalan dengan normal, walaupun di hatiku sesungguhnya tidak normal sama sekali. “Wah.. akhirnya UN berakhir juga,” kata Nina lega. Aku tersenyum. Hari terakhir UN memang hari yang paling dinanti-nantikan. “Ntar kita jalan ke mal yuk. Gue yang traktir,” kata Karla tiba-tiba. “Asik.. Gue mau banget,” Renti terlihat sangat gembira. “Hmmm… Icha. Ntar loe mau kuliah dimana?” tanya Shintia ketika kami berjalan menuju mobil Karla. “IPB kayaknya. Gue pengen masuk Kimia,” kataku. Aku ingin meneliti zat kimia yang ada di planet Kenan. Kalau saja aku bisa pergi kesana lagi. “Kalo gue mau masuk Sastra di UNRI aja kayaknya. Gue pengen ngarang buku terbagus tentang kita berlima,” kata Shintia, disambung suara tepuk-tangan meriah dari kami semua. “Gue mau ke sekolah model gitu di Jakarta. Belum dapet sih, tapi tante gue yang kerja di salon lagi nyariin sekolah tinggi yang bagus,” kata Karla dengan mata berbinar-binar. “Cocok banget,” aku memberi dukungan. “Gue mau masuk IPB juga loh Cha. Mau masuk jurusan Teknologi Pangan. Biar ntar gue bikin makanan yang bisa nyembuhin penyakit lemot gue,” kata Nina gak kalah semangat. “Kalo loe Ren?” tanyaku sambil melirik Renti yang terlihat gusar karena bedaknya gak rata-rata juga, padahal udah dibenerin dari sejam yang lalu. “Gue mau bareng Nina ama Icha ke IPB juga. Mau ngambil Biokimia,” katanya tanpa berpaling dari cerminnya. Dahiku berkerut. Kok gak nyambung sama sekali ama kebiasaan dia ya? “Loh kenapa, Ren?” Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. “Soalnya gue mau bikin bedak herbal dengan bahan-bahan alami dan hanya sedikit bahan kimia yang bisa langsung rata waktu dipake, gak kayak gini,” katanya kesal. Kami semua tertawa. “Wah, jadi cuman kami berdua yang misah,” kata Shintia dengan nada sedih. “Iya ya. Nah, sebelum kita berpisah, ayo kita shopping-shopping dulu,” teriak Karla sambil menyalakan mesin mobilnya. Aku tersenyum lebar. Kami berjalan-jalan ke pusat kota, berbelanja baju-baju lucu dan mencoba kuliner-kuliner yang luar biasa enak. Jimmy memaksa untuk ikut, karena Mama dan Papa pergi arisan. Selama tidak rewel, tidak jadi masalah buatku. “Eh, kita bikin tato barengan yuk, sebagai lambang sahabat sejati,” usul Shintia saat melihat sebuah stand tato. Kami pun membuat tato di lengan atas kami dengan huruf F untuk Renti, R untuk Nina, I untuk Karla, E untukku, N untuk Shintia, dan D untuk Jimmy. Jimmy kupaksa supaya pas membentuk kata FRIEND. Ketika aku dan Jimmy tiba di rumah, waktu sudah menunjukkan jam 10 malam. Aku langsung menyikat gigi, mencuci kaki, mengganti seragamku dengan piyama, dan bersiap-siap untuk tidur. Secara tidak sengaja mataku mengarah ke pot kecil yang ada di pojok kamarku dan aku terkejut bukan main. SR-52 tumbuh! Aku melihat dedaunan kecil-kecil berwarna ungu kebiruan muncul dari dalam tanahnya. Aku takjub. Tanaman itu terlihat sangat indah. Pikiranku melayang jauh menuju Kenan. Sedang apa ya dia sekarang? Pagi itu, aku berangkat ke sekolah untuk mencari informasi mengenai pendaftaran IPB melalui jalur undangan. Sebenarnya Mama sempat melarangku ke sekolah karena Mama punya firasat buruk. Aku hanya tertawa dan mengira Mama terlalu berlebihan. Tapi entah mengapa saat ini perasaanku benar-benar tidak enak. Seorang lelaki berperawakan besar menghalangi jalanku. “Maaf Pak. Ada perlu apa dengan saya?” Aku berusaha bersikap sesopan mungkin. “Kamu tidak kenal saya? Saya ayahnya Michael.” Aku tersentak. Otakku memerintahkanku untuk lari, tetapi kakiku memilih untuk diam di tempat. “Aku sudah tau semuanya. Kamu berhasil menipu anakku sehingga ia mau menyelamatkanmu. Tapi tidak lagi sekarang. Aku sudah membereskannya,” suara ayah Kenan terdengar kejam. “Apa yang kaulakukan padanya?” teriakku panik. Aku tidak bisa menerima bila Kenan tersakiti karena berusaha untuk menyelamatkanku. “Hahahahaha… itu bukan urusanmu nona. Sekarang urusanmu adalah denganku.” Bulu kudukku merinding. Aku pasrah. “Aku sudah tau kalau SR-52 itu ternyata bisa tumbuh disini. Berkat kamu, hahahaha…Terima kasih. Sekarang yang perlu kulakukan hanya dua,” katanya sambil mengangkat dua jarinya. Tatapannya benar-benar tajam menusuk. Aku membalas dengan tatapan yang sama. “Yang pertama adalah, merebut planet ini dari kalian dan menjadikannya ladang SR-52.” Apa? Aku terperangah. “Dan yang kedua adalah, menghabisi orang yang sudah tau terlalu banyak tentang kami…” Aku menatapnya tak berkedip. “… kau!” Aku tak tahu harus melakukan apa, tapi hanya ada satu kata yang terlintas di benakku: lari. Aku berlari sekencang yang aku mampu. Aku bisa mendengar derap langkah di belakangku yang semakin lama semakin keras. Aku mempercepat lariku. Nafasku tak beraturan. Otakku membeku. Aku tak bisa berpikir jernih. Tiba-tiba aku merasakan rasa sakit di kepalaku, dan semuanya berubah gelap. “Tempat apa ini?” Aku memandang ke sekelilingku. Tempat ini benar-benar asing bagiku. Aku mencoba berdiri, tapi entah mengapa aku merasa seluruh tubuhku tidak bisa digerakkan. Sial! Seluruh tubuhku telah terikat! Aku mendumel. Aku merutuki ketidakberuntunganku ini. Andai saja aku mendengarkan kata Mama untuk tidak pergi ke sekolah hari ini, pasti aku tidak akan tertangkap! Kekuatan batin seorang ibu benar-benar luar biasa. Aku berusaha mengingat-ingat cara para pesulap di TV untuk menyelamatkan diri dari jeratan tambang. Tetapi tak ada satupun yang kuingat. Aku menggosok-gosok tanganku agar tambang itu putus, tapi tambang itu terlalu tebal. Aku putus asa. Bagaimana ini? Otakku berpikir keras. Ruangan ini semakin lama semakin gelap. Pasti sudah hampir malam. Aku tidak mau terkurung di tempat aneh ini semalaman. Saat aku sedang berpikir, tiba-tiba terdengar pintu berderit. Aku tersentak. Mataku menyipit. Terlihat sosok yang tidak kukenal menyeret seseorang dibelakangnya. Sosok itu menjatuhkan orang yang diseretnya dengan kasar, tetapi orang itu terlihat sangat lemas tak mampu untuk melawan. Sosok itu akhirnya keluar dan menutup pintu dengan kasar. Terdengar suara cetek dari luar. Kami dikunci! Aku mengalihkan perhatian ke orang yang diperlakukan tidak semena-mena tadi. Aku memfokuskan mataku dan aku benar-benar terkejut. Kenan! “Kenan.. apa yang terjadi?” Aku berteriak panik. Kenan berusaha mengangkat kepalanya dan menatap ke arahku. “Icha?” tanyanya pelan. Aku mengangguk. “Iya.. kamu kenapa?” tanyaku lagi menuntut jawaban atas pertanyaanku tadi. “Ceritanya panjang, Cha,” wajahnya terlihat sedih. Aku menunggu. Kenan menarik nafas. “Ayahku sudah tahu semuanya. Dan tak lama lagi ia pasti akan membunuhku.” Mataku membulat. Ayah macam apa dia. “Tenang aja. Aku gak bakal ngebiarin hal ini terjadi,” kataku membesarkan hatinya, walau aku sendiri tidak tahu harus melakukan apa. “Jangan Icha. Kamu gak tahu ayahku itu seperti apa,” Kenan berusaha mencegahku. “Kamu selamatkan saja dirimu sendiri. Ini masalah keluargaku.” “Tapi….” Aku tidak terima. “Aku gak mungkin ngebiarin ka…” “Ssssttt…” Kenan memotong kata-kataku. “Istirahatlah. Kamu kelihatan lelah sekali.” Aku diam. Tak lama kemudian aku jatuh ke alam mimpiku. Aku tersentak. Sepertinya aku mendengar sesuatu yang aneh. Aku melihat ke sekelilingku. Astaga. “Kenan kamu gak apa-apa?” tanyaku panik. Kenan terlihat kejang-kejang. Nafasnya tidak beraturan. Aku ingin menolong tapi tambang sial ini benar-benar menyebalkan. Aku bingung harus melakukan apa. “A…ku gak ap…a…apa kok,” Kenan terlihat kesulitan dalam mengatur nafas. Aku cemas. Beberapa kemudian nafas Kenan sudah mulai terlihat normal. Aku lega. “Sekarang kamu harus menceritakan semuanya padaku.” Kenan terlihat ragu-ragu. Aku menatapnya kejam. “Baiklah, baik,” Kenan terlihat menyerah. “Ayahku memutuskan untuk menghancurkan semua yang ada di planet ini, dan membangun sebuah ladang besar.” “Semuanya?” tanyaku tak percaya. “Semuanya.” Aku membayangkan kematian kedua orangtuaku, adikku, teman-temanku, dan semua orang yang kukenal. “Tidak!” jeritku. “Aku takkan pernah membiarkan ini semua terjadi!” “Sudahlah Icha. Kita takkan sanggup melawan ayahku.” “Apa maksudmu?!” Aku benar-benar tidak terima. “Untuk melepaskan diri saja saat ini kita tak sanggup.” Aku terdiam. Kenan ada benarnya juga. Aku masih berjuang untuk memikirkan rute pelarian diri ketika pintu didorong dengan kasar dari luar. Aku dan Kenan tersentak. Sesosok pria yang sangat kubenci muncul dengan wajah menyeringai. “Hai, anak-anak. Bagaimana kabar kalian?” Ayah Kenan menampilkan senyum licik yang mengerikan. “Orangtua brengsek! Keluarkan aku dari sini!” teriakku dengan emosi yang meluap-luap. “Sabar.. sabar.. Jangan emosi dulu nona. Mungkin kita bisa bermain sebentar sementara aku memikirkan rencana luar biasa yang akan segera kurealisasikan,” ayah Kenan berkata sambil menjilati bibirnya. Senyumnya terlihat sangat menjijikkan. “Kalau kau sampai berani menyentuhnya, aku akan membunuhmu!” Kenan mendesis. “O…o… jadi kau mau jadi pahlawan sekarang? Apa pantas seorang ayah dan anak memperebutkan seorang gadis yang sama?” Tawanya membahana ke seluruh penjuru ruangan. “Jangan panggil aku anak! Aku tak sudi!” “Hahahahahahahaha……. Roger, bawa gadis ini ke ruanganku,” katanya kepada seorang bodyguard sambil melangkah keluar. “Bangsat kau!” teriakku. Disusul dengan teriakan yang sama dari Kenan. Bodyguard itu menyeretku dengan paksa dan membawaku ke sebuah ruangan aneh. Semuanya penuh dengan tanah. “Lepaskan ikatannya,” perintah ayah Kenan sambil memandang keluar jendela. Bodyguard itu melepaskan ikatanku dengan kasar lalu mendudukkanku di sebuah sofa yang sangat keras. “Jadi kita mau main apa?” tanyanya sadis begitu sang bodyguard meninggalkanku hanya berdua dengan ayah Kenan. “Cuih!” Aku membuang ludah. “Hahahahahahaha…. Kau pemberani juga. Pantas anakku jatuh cinta padamu.” “Dia bukan anakmu lagi,” kataku mengulang kata-kata Kenan. “Mantan istri memang ada, tapi mantan anak takkan pernah ada.” Aku tersentak. Sedetik sempat kulihat wajah ayah Kenan melukiskan kepedihan yang mendalam. “Kau masih menyayangi Kenan,” kataku berargumen. “Yah… asal kau tahu. Kenan adalah anakku satu-satunya dan tentu saja aku sangat menyayangi dia.” Tiba-tiba wajah sendu itu kembali terlihat sadis, “kalau saja kau tidak hadir mengganggu keluargaku, aku tidak akan mungkin tega membunuh anakku sendiri. Kehadiranmu lah yang membuat ini semua terjadi!” Apa? “Mungkin sekarang Roger sudah membunuh Kenan. Dan sebentar lagi kaulah yang akan menyusulnya ke alam baka.” Mataku membulat. Aku tidak percaya dengan ini semua. “Tapi sebelum itu, kita akan bermain-main sebentar.. hahahahaha.” Aku bergidik. Ayah Kenan mengambil sebilah pisau, mengasahnya sambil terus menyeringai. Aku menatap pisau itu tak berkedip. Mungkinkah ini akhir dari hidupku? Tiba-tiba saja ayah Kenan melangkah perlahan ke arahku, dengan mata pisau yang tertuju kepadaku. Aku hendak lari, tetapi tatapan ayah Kenan membuatku memilih untuk tetap diam. “Taukah kau, seperti apa rasanya penderitaan keluarga kami?” Ia menempelkan pisau itu ke leherku. Aku gemetaran. “Seperti ini. Hahahahaha.” Aku merasakan perih di leherku. Ia menggores leherku! Ia mundur beberapa langkah. Aku mengusap darah yang mengalir dari leherku sambil meringis menahan perih. Aku menatapnya dengan mata yang mulai berkunang-kunang. “Pisau ini memiliki racun yang mematikan. Tergores sedikit saja sudah cukup untuk membunuhmu.” Aku terperanjat. “Hahahahahahahahaha…..” Tawa itu terdengar semakin mengecil seiring dengan semakin kaburnya pandanganku. Semuanya berubah gelap. “Brengsek kau! Apa yang telah kau lakukan?” Sayup-sayup aku mendengar suara lelaki yang sangat aku cintai. Kenan? Dia masih hidup? Aku mencoba membuka mataku, tapi berat sekali rasanya. “Aku telah membunuhnya. Jadi kau tidak punya alasan lagi untuk menyayangi makhluk planet ini.” “BRENGSEK!” Suara Kenan terdengar sangat geram. Aku memaksa mataku untuk membuka. Kulihat sosok Kenan yang sedang berjuang melepaskan ikatannya. “Kenan?” Panggilku lemas. “Icha? Kamu masih hidup?” Kenan menatapku dengan tatapan tak percaya. Aku meringis. Luka di leherku terasa sangat sangat sangat perih. “Kau cukup kuat juga. Tapi tetap saja, tidak akan lama lagi kau bakal mati. Bahkan ternyata ini lebih buruk lagi. Kau harus menderita sekarat berjam-jam terlebih dahulu. Hahahahaha.” Aku mendesis. “Hahahahaha. Roger. Ikat gadis ini dengan kuat. Aku mau Michael melihat proses kematian pacarnya ini. Hahahaha.” Bodyguard itu mengikatku dengan kuat sambil ikut-ikutan tertawa, lalu keluar menyusul ayah Kenan yang sudah berjalan keluar duluan. “Kenan…. Ka.. ka…kamu masih hi..dup?” Aku merasa mulutku sangat sulit untuk digerakkan. “Icha, kamu harus bertahan. Kamu gak boleh mati dulu!” “A..a..ku udah gak.. ku..at, Kenan. Sampaikan salamku pada keluargaku, kumohon.” “Tidak Icha! TIDAK!!!” Tiba-tiba aku merasa tubuhku sangat ringan dan aku sangat yakin kalau kakiku sudah tidak menginjak lantai lagi. Tapi mataku tak dapat menangkap cahaya sedikitpun. Semuanya terlihat sangat gelap. Kabut di tempat ini sangat tebal. Mungkinkah kemarin baru saja turun hujan? Seorang gadis kecil menghampiriku. Langkahnya cepat sekali, tidak, ia tidak melangkah. Ia terbang! Aku mengucek-kucek mataku untuk memastikan bahwa aku tidak sedang berhalusinasi. Aku mengedipkan mataku berkali-kali tetapi sosok itu tetap terlihat dan semakin mendekat. “Hai, penghuni baru. Selamat datang,” katanya ramah. Aku baru menyadari bahwa ia memiliki sayap mungil berwarna keemasan yang sangat indah. “Eng.. maaf kalau aku lancang. Aku hanya mengagumi sayapmu,” aku tersadar setelah ia berulang kali mengatakan hai. Ia tertawa. “Untuk apa? Kamu kan juga punya.” “Eh?” Aku menoleh ke belakang. Dan benar! Sepasang sayap berkilauan indah bertengger di punggungku. “Nama kamu siapa?” tanyanya akhirnya. “Icha,” jawabku singkat. Aku masih terus mengagumi sayap yang entah bagaimana caranya bisa menempel disitu. “Oh. Aku Virgin. Virgin Angel. Selamat datang di Surga.” Apa?! “Katamu surga? Tidak! Tidak mungkin! Jadi aku sudah mati?” “Maafkan aku, Icha. Tapi itu memang benar.” “Tidak! Aku tidak percaya!” Aku benar-benar panik. “Kalau begitu kita harus memastikannya.” Virgin menarik tanganku dan membawaku terbang. Aku benar-benar tidak terbiasa dengan sayap ini. “Nah, kita sampai.” Virgin dan aku mendarat di sebuah tempat yang penuh dengan layar. “Tempat apa ini?” tanyaku heran. “Mari kita cari dimana tayangan kehidupanmu.” “Kehidupanku? Maksud ka..” “Siapa nama lengkapmu?” tanyanya memotong pertanyaanku. “Monica. Monica Karen.” “Nah. Ini dia.” Virgin menunjuk salah satu layar. “Bagaimana kamu bisa tahu?” Aku benar-benar sangat penasaran karena jutaan layar yang ada disini tidak menunjukkan perbedaan sama sekali. “Mudah saja. Layar-layar disini diurutkan secara alfabetis. Dan setiap malaikat memiliki kemampuan untuk memilih layar yang tepat. Sekarang kita lihat milikmu.” Di layar tersebut terlihat video kehidupanku mulai dari aku dilahirkan oleh Mama. Aku melihat Mama berjuang sangat keras untuk melahirkanku ke dunia. Aku meneteskan air mata. “Baiklah, kita langsung skip saja ke kejadian di akhir hidupmu.” Virgin men-seek hingga sedikit mendekati akhir dari video itu. “Icha, kamu harus bertahan. Kamu gak boleh mati dulu!” Terlihat wajah cemas Kenan di layar besar itu. “A..a..ku udah gak.. ku..at, Kenan. Sampaikan salamku pada keluargaku, kumohon.” “Tidak Icha! TIDAK!!!” Aku melihat diriku menutup mata dan tubuhku terlihat seperti batang layu yang sama sekali tidak mendapat air selama setahun. “Ichaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa……………” “Oke, sudah habis. Itulah akhir hidupmu. Sekarang percaya kan?” “Apa sama sekali tidak ada kelanjutannya?” Aku benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi selanjutnya. “Baiklah. Kalau kamu menginginkannya.” Virgin menekan sebuah tombol di atas layar itu dan aku melihat ayah Kenan menyeret mayatku dan memasukkannya ke dalam sebuah kardus besar. Kemudian aku melihat kardus itu diantar ke depan rumahku. Aku bisa melihat wajah duka Mama dan Papa setelah membuka kardus itu dan mendapati mayatku ada di dalamnya. Setelah itu aku melihat mayatku di kuburkan di samping kuburan Kakek dan Nenek. Aku bisa melihat teman-temanku mengitari kuburanku. “Cukup! Hentikan!” Aku berteriak. Aku sudah tidak kuat lagi. Virgin mematikan layar itu buru-buru. Aku menangis tersedu-sedu. Virgin benar-benar ramah. Ia mengizinkanku tinggal di rumahnya sampai Tuhan memberiku tempat tinggal. “Maaf kalau rumahku kurang nyaman untukmu.” Aku hanya tersenyum. Rumah Virgin sangat besar dan indah. Sangat tidak sesuai untuk tubuhnya yang mungil. “Kamu sudah tahu banyak tentang aku kan. Sekarang ceritakan tentang dirimu.” Virgin menceritakan kehidupan keluarganya yang bahagia. Ia memiliki seorang kakak laki-laki dan sekarang sudah duduk di bangku kuliah. Ayah dan ibunya bukanlah orang yang kaya, tetapi mereka selalu bersukacita karena berkumpul bersama bagi mereka jauh lebih berharga dari apapun. “Lalu, emm.. maaf kalau agak menyinggungmu, bagaimana kamu bisa sampai disini?” tanyaku ragu-ragu. Virgin melanjukan ceritanya. Sewaktu ia akan meninggal, ia sedang berjalan kaki ke sekolah bersama kakaknya. Saat itu kakaknya masih SMP dan ia masih SD. “Tiba-tiba sebuah bus menabrakku dari belakang. Kakak mencoba untuk menolongku tapi lukaku terlalu parah.” Virgin terlihat sangat sedih. “Maaf. Aku seharusnya tidak menanyakan hal itu.” “Tidak apa-apa. Aku senang bisa menceritakan ini.” Ia tersenyum. “Jadi kamu selalu mengamati kehidupan keluargamu dari layar milikmu?” aku menebak. “Yap. Senang sekali rasanya bisa melihat mereka bahagia dan mendoakan mereka setiap hari.” Aku mengangguk setuju. Mungkin aku juga akan melakukan hal itu nanti. Sudah berminggu-minggu aku tinggal di rumah Virgin tetapi Tuhan tidak juga memberikanku tempat tinggal. Aku tidak ingin menyusahkannya lebih lama lagi. Kuputuskan untuk datang ke hadirat-Nya. “Tuhan, aku sudah tinggal disini berminggu-minggu. Bisakah aku memperoleh tempat tinggal seperti malaikat-malaikat lainnya?” Tiba-tiba aku mendengar deru angin yang sangat kencang. Aku tidak berani membuka mataku. “Anakku, sebenarnya belum waktunya bagimu untuk tinggal disini. Aku akan mengembalikanmu ke bumi.” Aku tersentak. Belum sempat aku mengucapkan sepatah katapun, aku sudah melayang entah kemana. Tempat apa lagi ini, pikirku. Sangat gelap dan pengap. Aku tidak bisa bernafas! “Tolong! Keluarkan aku dari sini! Siapapun tolong aku!” Aku menjerit. Aku tidak mau mati untuk yang kedua kalinya. “To..tolong!” Leherku seperti dicekik. Aku butuh udara. Sayup-sayup aku mendengar suara orang berbicara. Suaranya terdengar panik. “Tolong…” Kemudian aku mendengar suara tanah yang sepertinya sedang dicangkuli dan tak lama kemudian aku merasa seperti sedang diangkat. Begitu terbuka, aku langsung mengisi paru-paruku. Aku bisa merasakan ada empat mata yang sedang menatapku. “Ba..bagaimana kalau dia ha..hantu? Kita bisa dibunuhnya..” terdengar seorang berkata dengan suara ketakutan. Mendengar temannya tidak berkata apa-apa, ia semakin histeris. “Sudah kubilang kita seharusnya tidak menggali kuburannya. Matilah kita.” Aku memandangi mereka. Sepertinya mereka penjaga kuburan ini. “Terima kasih atas bantuan kalian. Tapi aku bukan hantu.” “Ja.. jadi? Setan?” Aku terkekeh. “Tidak. Aku manusia kok. Tuhan menyuruhku kembali ke bumi.” Aku mencoba meyakinkan mereka. “TIDAK!!! JANGAN BUNUH AKU!!” Salah seorang dari mereka berteriak dan langsung melarikan diri. Aku menatap ke arah yang seorang lagi. Ia tersenyum. “Maafkan temanku itu. Ia adalah penjaga kuburan yang baru menggantikan ayahnya yang meninggal minggu lalu. Aku adalah penggali kubur disini.” Aku keluar dari petiku dan menjabat tangannya. “Terima kasih karena kamu tidak takut padaku.” Ia terbahak. “Sebaiknya aku membereskan ini semua dulu. Aku tidak ingin membuat warga geger.” Dengan cekatan ia memasukkan petiku kembali ke dalam tanah dan merapikan tanah-tanah yang berserakan. “Rumah kamu dimana?” tanyaku. “Tidak jauh dari sini. Sebentar lagi akan terlihat.” Aku menatap lurus ke depan. Terlihat sebuah gubuk gelap tak berpenghuni. “Nah itu dia,” tunjuknya. Ia mempercepat langkahnya. Aku mengikuti dengan sedikit terburu-buru. “Malam ini kamu tinggal disini saja dulu. Besok pagi akan kuantarkan ke rumahmu. Maaf kalau tidak senyaman rumahmu. Rumahku hanya gubuk kecil biasa.” “Tidak. Aku justru merasa sangat berterima kasih padamu karena bersedia menampungku malam ini. Lagi pula sepertinya aku tidak akan pulang ke rumah.” Ia mengernyit. “Loh kenapa?” “Aku sudah meninggal berminggu-minggu. Kalau aku pulang, orang-orang akan mengiraku hantu, seperti temenmu tadi.” Ia mengangguk-angguk. “Oh ya. Nama kamu siapa? Kita kan belum kenalan.” Aku mengulurkan tanganku. “Namaku Monica. Panggil aja Icha.” Ia membalas uluran tanganku. “Aku Dimas. Salam kenal,” ia tersenyum sangat manis, mengingatkanku pada Kenan. “Kamu bisa tidur disini. Aku akan tidur di depan.” “Hmm. Terima kasih,” aku mengangguk-angguk. Baiklah! Hidup keduaku dimulai! Aku mengerjapkan mataku. Sinar matahari yang masuk dari celah-celah gubuk mengusik tidurku yang luar biasa nyenyak. Aku mengucek-ngucek mataku sambil berjalan ke depan gubuk, tetapi sosok yang kucari tidak kutemukan. Loh? Dimas dimana? Aku mengitari seluruh gubuk, tetapi Dimas tak kunjung ketemu. “Mencariku?” terdengar suara seorang pria dari belakangku. “Aku habis menangkap ikan di sungai. Untuk sarapan,” lanjutnya sambil mengangkat dua ekor ikan yang besar-besar. “Wahhh..” aku menatapnya takjub. Baru kali ini kulihat ikan yang seperti itu. Sarapan pagi benar-benar menyenangkan. Dimas bercerita tentang hidupnya dan pekerjaannya. Ia juga bercerita tentang istrinya yang telah meninggal setahun yang lalu. Tapi tak terlihat raut sedih di wajahnya. Sepertinya ia benar-benar sudah mengikhlaskan kepergian istrinya. “Oh ya. Kalau kamu mau mandi, kamar mandi ada di belakang gubuk. Di lemari itu ada baju-baju punya almarhumah istri saya, kamu bisa pakai,” katanya sambil menunjukkan sebuah lemari berwarna coklat kusam. Aku mengangguk. Aku benar-benar bersyukur karena di saat yang benar-benar tidak terduga seperti ini aku bertemu dengan Dimas. Kehidupanku selanjutnya sudah bisa ditebak. Aku masih menumpang di rumah Dimas. Dimas sama sekali tidak keberatan aku tinggal di rumahnya karena ia memang sangat kesepian. Tapi aku benar-benar tidak enak hati melihatnya yang harus bekerja dua kali lebih keras karena tambahan satu perut yang harus selalu diisi. Apalagi bila Dimas mendapat job ketika ada orang yang meninggal, aku merasa sangat kesepian sendirian di gubuk itu. “Dim, kayaknya aku perlu mencari kerja, deh. Aku nggak mau jadi bebanmu terus-terusan.” Dimas tampak terkejut. “Aku sama sekali tidak merasa terbebani kok.” “Lagipula aku bosan di rumah terus. Boleh ya aku kerja?” rengekku. Dimas tampak berpikir sebentar. “Hmm... kebetulan. Waktu aku menggali kubur almarhumah Bu Alika, bosnya bercerita padaku kalau ia butuh seorang office girl untuk menggantikan almarhumah Bu Alika. Kalau tidak salah kantornya tidak jauh dari sini.” Aku berteriak kegirangan. “Aku mau! Antarkan aku besok ya!” Dimas mengangguk. “Kebetulan besok aku nggak ada job.” Esoknya aku benar-benar pergi ke kantor bosnya almarhumah Bu Alika. Aku dan Dimas berjalan kaki sambil bercerita tentang almarhumah istrinya yang dulu pernah ingin bekerja di kantor itu juga. Saat sedang asyik-asyiknya bercerita, tiba-tiba seorang pria yang sedang berjalan ke arah kami berhenti dan menatapku dengan tatapan ketakutan. “Se....se....” Aku memfokuskan mataku. Sepertinya aku pernah melihat wajah ini. “Setannnnnn!!!!!!!!!!” teriak pria itu sambil berbalik arah dan lari ketakutan. Sekarang aku ingat wajah siapa itu. Dimas hanya tertawa terbahak melihat temannya berlari tunggang-langgang. Kantor bosnya almarhumah Bu Alika sangat besar. Ada 20 lantai tingginya. Aku baru tahu ternyata bosnya almarhumah Bu Alika seorang pemilik perusahaan besar di kota ini. Namanya Pak Hermawan. Begitu Dimas memperkenalkanku dan menceritakan maksudku untuk bekerja di kantornya, Pak Hermawan langsung menerimaku dan memintaku untuk langsung bekerja hari ini juga. Aku gembira bukan kepalang. Asisten Pak Hermawan langsung menunjuk lokerku dan memberiku baju seragam office girl berwarna biru muda. Sudah berbulan-bulan aku bekerja di kantor Pak Hermawan. Aku sangat menikmati pekerjaanku. Membersihkan kantor beliau hingga kinclong dan tak bernoda sedikitpun. Asisten Pak Hermawan sangat puas dengan hasil kerjaku. Pagi itu, aku datang lebih pagi dari biasanya, karena asisten Pak Hermawan memintaku untuk membersihkan lantai teratas gedung kantor itu alias kayak atapnya gitu. Aku sudah bersiap dengan sapu dan lap yang selalu kubawa kemana-mana. Ketika sampai di atas, aku sangat terkejut melihat seorang wanita berpakaian rapi sedang berdiri di bibir atap dan menatap ke bawah, seperti bersiap-siap hendak meloncat. Pelan-pelan aku meletakkan sapu dan lapku, lalu berjalan perlahan mendekati wanita itu. Setelah dekat, kupeluk pinggangnya dari belakang dan berusaha menariknya mundur. “Jangan lakukan itu! Ayo kita pergi dari sini!” teriakku. “Lepaskan aku! Aku harus lompat!” teriaknya tepat di telingaku, membuat kepalaku serasa berdengung. “Kamu pasti akan menyesal!” teriakku saat teringat bagaimana tidak menyenangkannya mati itu. “Kau tidak mengerti apa-apa! Lepaskan!” Wanita itu terus meronta berusaha melepaskan diri. Aku bersikeras tidak melepaskan pelukanku. Kami bergulat hingga terguling-guling dan tak disangka aku yang kini berada di bibir atap. Aku melirik ke bawah. Astaga. Daratan terlihat sangat jauh. Aku kehilangan fokus dan wanita itu berhasil melepaskan diri. Dan sebagai akibatnya, aku tergelincir dan terjatuh ke bawah. “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!” “Ini dimana?” Aku menatap ke sekelilingku. Tempat yang sangat asing. Dari jauh aku mendengar sayup-sayup suara ribut-ribut, seperti ada yang berkelahi. Aku mendekati sumber suara itu. Kulihat ada sekelompok orang sedang berperang dengan pakaian zaman-zaman kerajaan dulu. Hmmmm... sepertinya sedang ada syuting di tempat ini. Aku meringis. Sepertinya kepalaku terluka saat terjatuh tadi. Aku berusaha mencari kru-kru yang mungkin bisa kutanyai. Namun aku tidak menemukan satu orang pun selain yang sedang berperang tadi. Loh? Syuting kok gak ada sutradara? Seorang pria tua berteriak, “hei anak muda, menjauhlah dari sana. Anda bisa terbunuh!” Aku menatap heran ke arah pria tua itu. Ia terlihat seperti sedang menyembunyikan diri di balik semak-semak. Melihat kekhawatiran yang terlihat sangat jelas di wajahnya, aku bergegas ikut bersembunyi di sebelahnya. “Sedang apa mereka?” tanyaku penasaran. “Mereka adalah pasukan dari Yang Mulia Ratu Suhita dan pasukan dari Yang Mulia Pangeran Bhre Wirabhumi yang sedang berperang. Sudah dua tahun mereka berperang,” pria tua itu menjawab sambil menghela nafas panjang. Aku berpikir sejenak. Sepertinya aku pernah mendengar nama itu di salah satu buku sejarah di perpustakaan. “Sekarang tahun berapa?” tanyaku histeris. Aku mulai menyadari kalau ini bukan syuting film. “Kepalamu terbentur ya? Sekarang tahun 1403,” jawabnya sambil mengamat-amati kepalaku yang terluka. Apa?! “I...ini dimana?” “Anda sedang berada di wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit yang agung. Walau akhir-akhir ini perang saudara telah menggoyahkan kekuasaan Ratu.” Apa?! “Hmmm.... sepertinya luka di kepala anda cukup serius.” Ia tampak berpikir-pikir. “Jadi sekarang saya berada di zaman Kerajaan Majapahit saat di bawah kekuasaan Ratu Suhita?!” Aku agak menjerit. Pria tua itu tampak marah. “Jangan menyebut nama Yang Mulia Ratu seolah-olah Yang Mulia sudah meninggal!” Aku mendesah. Apa lagi yang terjadi sekarang? Pria tua itu mengamat-amati seragam biruku. “Anda pasti datang dari luar negeri,” tebaknya. Aku benar-benar speechless. “Sebaiknya anda mengganti pakaian anda terlebih dahulu. Saya khawatir anda akan dianggap mata-mata dari kerajaan tetangga yang hendak menyerang kerajaan ini.” Aku tak sanggup melakukan apa-apa selain menuruti perkataannya. “Kenapa Bapak percaya kepada saya? Bagaimana kalau seandainya nih saya benar-benar seorang mata-mata? Keselamatan Bapak dan keluarga Bapak bisa ikut terancam,” tanyaku penuh selidik. Kami sedang melangkah menuju rumah pria tua itu yang katanya tidak jauh lagi. “Saya bisa membaca raut wajah seseorang. Saya bisa membedakan siapa yang hatinya baik dan siapa yang jahat.” Jawabnya sambil tersenyum. “Oooo...” Aku mengangguk-angguk. Seperti di dongeng-dongeng. “Nah kita sudah sampai,” katanya sambil menunjuk sebuah gubuk tua yang terlihat agak rapuh. Aku jadi teringat gubuknya Dimas. Seorang wanita tua menyambut kami. “Syukurlah Bapak selamat. Ibu dengar di tempat Bapak nyari kayu ada perang. Ibu khawatir sekali.” “Bapak tidak apa-apa. Tapi bapak tidak berhasil mendapatkan kayu bakarnya, Bu. Makan apa kita malam ini?” Pria tua itu tampak berpikir-pikir. “Tidak apa-apa, Pak. Anak kita baru saja menangkap ikan di sungai. Sekarang dia sedang menjualnya ke pasar. Mudah-mudahan cukup untuk membeli beras dan lauk ya Pak.” Wanita tua itu juga tampak berpikir-pikir. “Oh ya Pak, ini siapa?” tanya wanita tua itu saat menyadari keberadaanku. “Nama saya Icha, Bu,” jawabku. Pria tua itu memperkenalkan dirinya dan wanita tua yang ternyata adalah istrinya itu. Pria tua yang bernama Pak Sutejo itu menunjuk sebuah kamar. “Neng Icha boleh tidur di kamar ini. Nanti anak saya tidurnya di sofa saja,” katanya ramah. “Bu, Pak, Paijo berhasil menjual ikan-ikan dan membeli beras buat makan nih.” Seorang anak laki-laki yang kira-kira sebaya denganku memasuki rumah sambil membawa bungkusan. Kenan? Aku tak percaya. Kenan ada disini! “Mbak ini siapa?” tanyanya sambil menatapku. “Kenan! Aku tak percaya kita bertemu lagi!” pekikku girang. “Maaf, Mbak. Saya Paijo, bukan Kenan.” “Kamu sudah lupa denganku, Kenan?” tanyaku sedih. Aku tak percaya secepat ini Kenan melupakanku. “Dia Paijo, Neng. Anak kami,” Bu Sutejo menyadarkanku. “Ma..maaf... Kamu sangat mirip dengan pacarku,” ucapku lirih. Paijo mengangguk-angguk. Pria tua itu tersentak seolah menyadari sesuatu. “Nak, bisakah kita berbicara empat mata saja?” Ia sangat menekankan kata demi kata sambil menahan emosi. “I...i...iya, Pak,” aku takut melihat perubahan ekspresinya. Pria tua itu berjalan terbutu-buru ke sebuah persawahan. Aku mengikutinya sambil terengah-engah. Kemudian dengan tiba-tiba ia berhenti, berbalik menatapku dengan tajam. “Sekarang saya minta anda menjawab pertanyaan saya dengan jujur-jujurnya, bisakah?” Aku mengangguk takut-takut. “Kapan anda lahir?” Aku mendesah. Tidak lagi. “Apakah Bapak ingin menghubungkannya dengan rasi bintang juga?” Pria tua itu tersentak. “Ternyata dugaan saya benar. Anda pasti datang dari masa depan. Akhirnya saya paham,” ia mengangguk-angguk. “Apa yang Bapak pahami?” tanyaku frustasi. Aku benar-benar tidak memahami apapun. “Ini adalah cerita yang sangat panjang,” ia mendesah. “Saya akan mendengarkannya,” kataku tak sabar. “Baiklah, 20 tahun yang lalu, di planet Geoffrey kami, saya yakin anda pasti sudah tahu, terjadi perdebatan antara warga planet kami dengan seorang penenung, karena penenung itu selalu berkata hal-hal aneh dan meresahkan warga. Tetapi karena hal ini terjadi terus-menerus dan tak pernah selesai, warga setuju untuk tak menanggapi penenung itu lagi dan mengganggapnya gila. Penenung itu tidak terima diasingkan seperti itu. Ia mengutuk sebuah Black Hole, rangkaian bintang-bintang yang sejajar dengan Black Hole itu yang mengakibatkan Black Hole itu mendekat dan merusak tanah di planet kami, sehingga kami tidak bisa menanam makanan pokok kami dan bencana kelaparan terjadi dimana-mana. Yang lebih buruk lagi, bila Black Hole itu terus mendekat, dapat dipastikan planet kami akan hancur.” “Tunggu sebentar, hubungan semuanya ini dengan saya apa?” Aku masih tidak mengerti. “Cahaya dari rangkaian bintang-bintang yang sejajar dengan Black Hole terkutuk itu baru sampai di bumi berabad-abad kemudian di hari ketika anda lahir di masa depan, karena jaraknya yang sangat jauh dari bumi.” “Jauh?” “Di masa ini kami belum mengenal istilah ‘tahun cahaya’ hahaha..” Aku ikut tertawa. “Lalu mengapa ayah Kenan, ehmm.. maksud saya pemimpin kalian beranggapan kalau mereka mempersembahkan saya maka kehancuran planet anda itu tidak akan terjadi?” “Karena anda lah satu-satunya manusia bumi yang lahir disaat rangkaian bintang-bintang yang sejajar dengan Black Hole itu terlihat di bumi.” “Bagaimana Bapak memastikan hal itu?” Aku tidak yakin di seluruh bumi tidak ada orang lain yang lahir di hari, jam, menit, dan detik yang sama denganku. “Karena orang yang anda sebut ayah Kenan, saya rasa dia adalah pemimpin planet kami di masa depan, telah menemui penenung itu secara langsung dan memohon padanya untuk mencabut kutukannya, dan penenung itu berkata hanya satu orang yang dapat menghentikannya.” “Lalu bagaimana saya dapat menghentikan Black Hole itu?” “Itulah yang harus dapat anda temukan sendiri,” kata pria tua itu misterius. “Baiklah, sekarang saya paham. Karena itulah mengapa anak Bapak sangat mirip dengan Kenan, ternyata ia adalah buyutnya buyutnya dari buyut Kenan,” aku mengangguk-angguk, “tapi ada satu hal lagi yang belum bisa saya pahami, mengapa saya bisa sampai di tempat ini?” “Saya juga sempat terpikir hal seperti itu, beberapa bulan setelah semua peristiwa itu terjadi, saya menyusup ke laboratorium ‘dimensi waktu’ dan mencoba alat pemindah waktu untuk pergi ke masa depan untuk mencari anda dengan menyamar sebagai seorang wanita. Tetapi saya tidak berhasil. Ketika saya hendak kembali ke waktu yang sebenarnya, dengan cara melompat dari sebuah gedung, seorang gadis mencoba menahan saya dan ikut terjatuh. Gadis itu mengira saya ingin bunuh diri. Saya sampai ke waktu yang tepat tetapi tidak dapat kembali ke planet saya sendiri. Saya terperangkap di bumi dan memutuskan untuk menikah dengan wanita bumi sambil mencari-cari gadis yang ikut terjatuh bersama saya, atau..” pria tua itu tersentak untuk yang kesekian kalinya, “andakah gadis itu?” “Saya rasa begitu. Tapi sepertinya saya sampai di waktu yang berbeda dengan Bapak.” “Hmmm..... Mungkin sekaranglah saatnya anda menghentikan Black Hole itu. Ayo saya antarkan anda kembali ke masa depan.” Pria tua itu berjalan menuju sebuah hutan tak jauh dari persawahan itu. Aku mengikutinya menerobos hutan yang tak begitu lebat tetapi cukup menakutkan. Setelah agak lama berjalan, sampailah kami ke sebuah tebing yang cukup terjal. Kami mendekat ke bibir sebuah jurang. “Pergilah. Selamatkanlah planet-planet kita.” Aku mengangguk dan terjun bebas ke dalam jurang itu. Aku berusaha keras untuk membuka mataku. Kepalaku terasa sangat sakit. Aku memandang sekelilingku. “Icha, kenapa belum mulai-mulai juga? Sebentar lagi kamu harus membersihkan ruang kerja Pak Hermawan! Malah tidur disini!” Aku menyipitkan mataku. Asisten Pak Hermawan menatapku sambil bertolak pinggang. Aku langsung meraih sapu yang berada di dekatku dan mulai menyapu. “Dim, sepertinya aku harus pulang,” kataku begitu aku sampai di gubuk Dimas. “Loh kenapa?” Dimas terlihat shock. “Ada masalah yang harus kuselesaikan,” kataku pendek. Aku bingung harus menjelaskannya seperti apa. “Gak suka dengan tempat kerjamu? Biar aku carikan yang baru,” tawarnya. “Bukan, ini masalah masa laluku. Aku tidak terus-menerus menghindari masa laluku.” Dimas manggut-manggut. “Baik, besok aku antar ya?” “Jangan! Biar aku yang menyelesaikannya sendiri,” kataku mantap. Dimas terlihat ingin protes. “Tidak, Dim. Aku tidak akan melibatkan siapapun. Hanya ‘aku’ dan ‘masalahku’.” Dimas mendesah, lalu mengangguk. Esoknya aku benar-benar pergi dari gubuk Dimas. Aku berjalan tanpa tahu arah. Aku bermodalkan keberanian bertanya dan gaji yang sudah kuterima. Seharian penuh aku berada di angkutan kota sampai tertidur berkali-kali. “Neng, sudah sampai.” Aku terbangun. “Engg.. ini dimana Pak?” “IPB neng.” Aku bergegas turun dan membayar ongkos. Aku melangkah memasuki kampus IPB sambil melamun. Kalau saja tidak terjadi hal-hal aneh dalam hidupku, pasti sekarang aku sudah kuliah di tempat ini. Aku terus berjalan menuju sebuah gedung berwarna biru. Sebuah palang bertuliskan “Graha Widya Wisuda” terpampang di depannya. Tak lama berselang, sekelompok mahasiswa memakai almamater keluar dari gedung biru itu sambil menenteng kue kotak. Aku memandangi salah seorang dari mereka. Wajahnya sangat familiar. Aku berusaha mengingat-ingat. Astaga! Renti! “Rennnnnnn................ aku kangen!” Aku berteriak sambil berlari ke arahnya. “Siapa ya?” tanyanya dengan dahi berkerut begitu aku sampai di dekatnya. Aku terkejut. Cepat sekali ia melupakanku! “Ren ini aku Icha, temenmu,” aku berusaha mengembalikan ingatannya. Renti menatapku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. “Kamu memang mirip dengan teman saya Icha, tapi maaf, Icha sudah meninggal, jadi tolong jangan ngaku-ngaku ya.” Aku menatapnya sedih. Kubuka lengan atasku dan kutunjukkan huruf E yang tertato disana. Renti menatapnya heran, membuka lengan atasnya dan membandingkan huruf F miliknya dengan huruf E milikku. “Icha?!” Bola matanya melebar. “Ya. Ini aku.” jawabku lirih. “Tapi? Bagaimana bisa? Bukankah...” “Aku sudah meninggal? Yah.... ceritanya panjang sekali.” Aku bercerita hanya di bagian ketika aku masuk ke surga dan bertemu Virgin. Bagian lainnya tidak aku ceritakan karena aku tidak ingin membuat heboh masyarakat seluruh dunia kalau sampai mereka tahu kalau bumi ini dalam bencana besar. “Ayo aku antarkan kamu pulang. Nina sudah pulang menunggu di warung soto.” tawar Renti. Aku menggangguk. Kami berjalan menuju warung soto tak jauh dari gedung biru. “Ren, ini siapa?” tanya Nina begitu kami sampai. “Ini Icha.” “Icha? Icha mana?” Lemotnya Nina mulai lagi. Aku menunjukkan tato di lengan atasku. Nina terlihat berpikir-pikir. Lima menit kemudian, dia berteriak, “Icha!! Bagaimana bisa kamu disini? Bukannya kamu....” Aku mendesah. Kalau untuk menjelaskan ini semua kepada Renti saja aku harus bercerita panjang lebar, aku tak bisa membayangkan bagaimana ribetnya kalau harus menceritakannya pada Nina. Renti menangkap kegelisahanku. “Gini aja, Nin. Kita bicarakan sambil makan. Icha kelihatannya sangat lapar,” katanya sambil melirik ke arahku. Aku tersenyum dan Renti mulai bercerita dengan bahasa yang lebih sesuai untuk disampaikan kepada anak pra-TK. Baru jam 11 malam kami sampai di rumahku. Mama, Papa, dan Jimmy terlihat sangat terkejut. Renti dan Nina, yang akhirnya mengerti juga, menjelaskan semuanya. Malam itu mereka menginap di kamarku dan mereka bercerita panjang lebar tentang pengalaman kuliah mereka. Pintu tetap saja mengeluarkan bunyi deritan walaupun aku sudah berusaha untuk membukanya perlahan. Kulirik teman-temanku, khawatir kalau-kalau mereka terjaga. Kulihat mereka masih tertidur dengan pulasnya. Aku melangkahkan kakiku sangat perlahan, mencoba untuk tidak mengeluarkan suara apapun. Aku berjalan menuju teras dan menatap ke langit yang kosong tanpa bintang. Hal terburuk apa yang sedang terjadi di angkasa saat ini? Dimana Kenan? Apakah dia masih hidup? Apa yang akan terjadi terhadap planet bumi? Aku mendesah. Begitu banyak pertanyaan yang timbul dalam hatiku. Seseorang menyentuh pundakku. Aku menoleh. “Mama?” Mama tersenyum lalu memelukku. Aku menangis di pelukan Mama. “Mama pikir Mama, tidak akan bertemu denganmu lagi,” Mama ikutan nangis. “Aku juga, Ma,” tangisku semakin keras. Kami tak mengatakan sepatah kata pun. Hanya suara tangis kami yang terdengar sepanjang malam. Aku berusaha untuk hidup normal. Aku mengikuti ujian masuk IPB tahap paling akhir dan lulus. Teman-temanku sudah terlebih dahulu kuliah dan aku segera menyusul mereka. Aku tinggal di asrama dan bersikap seperti mahasiswa biasa, yang setiap hari kuliah dan malamnya belajar, walaupun diam-diam sebenarnya aku berusaha memikirkan cara untuk menyelamatkan planet-planet terutama planet bumi. Hal yang pertama kali harus kulakukan adalah mencari Kenan. Tapi aku tidak tahu harus mencari kemana. Aku benar-benar tidak tahu harus memulai darimana. Semuanya mulai terasa begitu berat. “Cha, kemarin dosen ngasih kita tugas buat nyari jurnal, lu mau nyari kapan? Gue bingung nih. Dosennya kan lebay, jurnalnya mesti gini-gitu..” Ina, teman sekelasku tergopoh-gopoh menghampiriku. “Kapan dikumpulin?” tanyaku malas. “Besok! Astaga kamu lupa ya?” Ina mengernyit heran. “Oh iya. Aku baru ingat,” kataku tanpa ekspresi. Aku benar-benar tidak ingin memikirkan tugas saat ini. Pikiranku jauh ke planet Geoffrey. “Aku mau mengerjakannya di rumah saja nanti malam. Masih ada hal lain yang harus kukerjakan saat ini,” kataku dengan wajah maaf yang dibuat-buat. Sudah enam puluh tujuh menit lamanya aku terpaku di hadapan laptopku. Berbagai kata kunci telah kutanyakan ke Om Google tetapi tidak ada satu jurnal pun yang memenuhi kriteria dosenku. Arggghhhhh.... aku frustasi. Analisis Forensik Penyalahgunaan Obat dalam Spesimen Biologis dengan Elektroforesis Kapiler oleh C. Cruces-Blanco Terlalu berat. Pengaruh Temperatur Terhadap Reaksi Fosfonat dalam Inhibitor Kerak pada Sumur Minyak oleh Asnawati Masih terlalu berat. Sintesa dan Karakteristik Sifat Mekanik Karet Nanokomposit oleh Teuku Rihayat Tidak adakah jurnal yang lebih mudah untuk dipahami oleh otakku yang tidak terlalu encer ini? Benar-benar frustasi hufftt.. Eh, mungkin yang ini bisa. Pertumbuhan dan Perkembangan Tumbuhan Padi SR-52 di Tanah Indonesia, Cara Bercocok Tanam dan Pemanenannya oleh Kenan Sepertinya tidak terlalu sulit untuk dipelaja... Eits, tunggu dulu.. Pertumbuhan dan Perkembangan Tumbuhan Padi SR-52 di Tanah Indonesia, Cara Bercocok Tanam dan Pemanenannya oleh Kenan... APA???!!! SR-52??!!! KENAN??!! Segera kuklik link tersebut. Aduh lambat sekali loadingnya. Aku benar-benar tidak sabar menunggu halaman web tersebut terbuka. Apakah ini benar-benar Kenan-ku? Kenan yang kucari-cari selama ini? Aku benar-benar tidak percaya apa yang aku lihat. Foto Kenan terlihat dengan jelas sedang bersama dengan ayahnya di depan sebuah persawahan seperti persawahan pada umumnya hanya saja padinya berwarna ungu kebiruan. Tidak mungkin! Kenan sudah terpengaruh oleh ayahnya. Mereka akan menjadikan seluruh muka bumi menjadi sawah mereka. Aku harus mencari cara untuk menyelamatkan bumi. Berpikir Cha! Berpikir! Aku benar-benar tidak berhasil mendapatkan satu ide pun. Setidaknya aku sudah mendapatkan sedikit petunjuk mengenai persawahan SR-52 dan besok aku segera mendatanginya. Sawah itu terlihat sangat luas. Sejauh mata memandang kita hanya dapat melihat warna ungu kebiruan yang indah. Hari itu tidak hanya aku saja yang datang ke persawahan tersebut tetapi banyak orang berbondong-bondong di sekeliling pagar yang mengelilingi persawahan tersebut untuk melihat keajaiban padi yang memiliki warna yang tidak semestinya itu. Sebagian datang hanya untuk melihat, sebagian lagi mengantri di depan sebuah kios di sebelah persawahan tersebut untuk membeli bibit padi ajaib itu. Tidak! Aku harus menghentikan ini semua! Petani-petani itu pasti tidak tahu kalau mereka sedang dimanfaatkan untuk menyukseskan rencana penghancuran bumi. Aku ikut mengantri di barisan paling belakang. Setelah penantian yang sangat lama tibalah giliranku. “Berapa banyak bibit yang ingin anda beli, Nona?” Suara yang sangat khas. Suara yang selama ini kurindukan. Tubuhku sempat bereaksi berlebihan tetapi aku segera menepisnya. “Nona?” Kenan pasti tidak mengenaliku. Aku sengaja memakai topi kerucut yang menutupi wajahku. Hmmm... baiklah. Ini saatnya mengakhiri semuanya! “Kenan. Hentikan ini semua saat ini juga!” Aku membuka topiku dan Kenan terkejut. “Icha?! Kamu masih hidup?” “Yap! Dan aku masih cukup kuat untuk menendang bokongmu untuk semua kekacauan yang kau buat ini!” Kenan masih tampak shock. Aku menyeringai. “HAHAHAHAHAHAHA....” Terdengar tawa yang sangat tidak asing lagi di telingaku. “Akhirnya aku mengerti, mengapa Black Hole itu tak kunjung berhenti mendekat. Ternyata gadis sial ini masih hidup,” ujarnya dengan suara tercekik. “Maaf atas kekecewaanmu lelaki tua! Tapi aku tidak akan bisa dibodohi seperti kau membodohi anakmu sendiri!” “HAHAHAHA.. Masa bodoh dengan planet sial itu! Aku akan menjadikan planet ini sebagai planetku, setelah menghabisi kalian semua!!” Aku tersentak. Tidak lagi! Otakku kembali memerintahkan kakiku untuk berlari. Aku memasuki sebuah hutan dan terus berlari sampai paru-paruku terasa mau copot. Tiba-tiba bahuku ditangkap oleh seseorang. Aku berusaha untuk melepaskan diri tetapi seseorang itu memelukku dengan kuat. “Aku benar-benar merindukanmu. Aku pikir aku tidak akan bertemu denganmu lagi.” Kenan memelukku lama. Aku meronta tetapi aku tak sanggup melawannya. Aku kehabisan tenaga. Kenan melepaskan pelukannya, tetapi tetap memegangi kedua tanganku kuat-kuat. Dan tak lama kemudian bibirnya mendarat di bibirku. Aku mendorongnya kuat-kuat. “Kau menciumku dan setelah itu kau akan membawaku kepada ayahmu, ya kan? Aku takkan bisa dibodohi.” Kenan menatapku sedih. “Icha...” “Aku tidak percaya padamu!” Aku berlari meninggalkan Kenan tetapi tak lama aku jatuh pingsan. Nafasku terengah-engah. Ah, pengap sekali ini! Aku tidak bisa bernafas! Aku mengerjapkan mataku dan melihat ke sekelilingku. Sudah kuduga, tempat yang sudah tidak asing lagi bagiku. Hanya saja tidak Kenan yang ikut terikat bersamaku. Aku tak kuasa menahan tangisku. Aku menangis keras-keras dan menjerit mengeluarkan semua rasa sakit yang kualami. Mengapa harus aku yang mengalami ini? Mengapa aku harus bertemu Kenan? Mengapa harus aku dari milyaran manusia di muka bumi ini yang ditakdirkan untuk menjadi tumbal planet aneh yang bahkan keberadaannya pun tidak diketahui oleh astronom paling hebat sekalipun? Dan yang paling menyakitkan, mengapa Kenan yang aku cintai? Mengapa tidak orang lain saja? Sehingga aku tidak perlu menanggung rasa sakit yang luar biasa ini? Aku benar-benar tidak mengerti. Perjalanan hidupku yang sangat aneh, yang membuat orang-orang mulai berpikir aku ini gila. Bunyi derit pintu yang sudah sangat tidak asing di telingaku terdengar bersamaan dengan langkah kaki seseorang. “Icha?” Kenan menatapku khawatir. Aku buang muka. Kenan tidak mengatakan sepatah kata pun setelah itu. Ia hanya duduk di sampingku dan terus menatapku. Aku tetap buang muka, menatap dinding berpura-pura seolah-olah ada yang menarik perhatianku. Lama sekali rasanya. Aku menunggu Kenan mengatakan sesuatu tetapi aku tak mendengar apapun, kecuali desah nafasnya yang membuat tubuhku mulai bereaksi berlebihan. “Kenapa kau lakukan ini?” tanyaku akhirnya, sambil tetap menatap dinding. Aku bisa merasakan ekspresi kagetnya. “Hmm.. entahlah... sepertinya aku sudah benar-benar gila. Tidak ada yang kupedulikan lagi di planet ini sejak kau tidak ada. Dengan kata lain planet ini tanpamu tidak berharga bagiku. Oleh karena itu apapun yang dikatakan ayahku selalu kuturuti. Aku merasa seperti robot tak bernyawa.” “Kenapa begitu?” Aku menoleh kearahnya. Kenan tersenyum. “Karena nyawaku sudah pergi bersamamu.” Tubuhku bereaksi lagi. Sial. Aku buang muka lagi supaya Kenan tidak melihat wajahku yang merah padam. Tetapi Kenan menarik wajahku dan bibirnya mendarat lagi di bibirku, tetapi hanya sesaat. Ia menungguku membalas ciumannya. Aku memajukan wajahku dan membalas ciumannya. Semua kenangan indah mulai dari saat pertama kali aku bertemu dengannya muncul silih berganti. bersambung..... Sumber http://silviamonica.blog.com/

1 komentar: